Tag Archive: tsunami


Tsunami itu Bukan Kutukan Tuhan!
Bagi saya tidak. Anda boleh tidak setuju. Itu hak anda. Keyakinan anda. Tapi ini adalah pemahaman saya apa adanya sejauh yang saya pahami.

Jika tsunami itu menimpa saya, jujur saya juga takut. Mungkin saya juga akan menggigil histeris seakan tak tertahankan. Entahlah… Tapi saat ini, tetap saya tidak mau sewenang-wenang melemparkan bahwa bencana itu sebagai kutukan dari Tuhan. Karena menurut saya terlalu kanak-kanakan jika Tuhan tersinggung marah lalu murka dengan melemparkan bencana tsunami pada manusia. Seakan-akan Tuhan begitu lapar pengakuan dan pemujaan dari manusia.

Benar-benar saya tidak tertarik jika ada Tuhan yang seperti itu. Saya menghayati Tuhan yang tidak pernah terusik oleh segala perbuatan manusia. Karena sifat Tuhan bukan seperti sifat manusia. Dia begitu Agung pada diriNya sendiri. Mengatakan Tuhan marah bagi saya hanya imajinasi primitif yang diproyeksikan pada Tuhan.

Dalam Alquran memang ada kisah yang menceritakan suatu kaum yang dibinasakan Tuhan. Tapi saya menghayati kisah itu tidak secara harfiah. Melainkan saya menghayatinya sebagai hikmah atau kiasan dibalik kisah demi kisah seperti itu, yang artinya bahwa manusia jangan berprilaku sombong hingga semena-mena terhadap alam lingkungannya sendiri. Karena cepat atau lambat perbuatan itu juga akan memukul balik pada kesalamatannya sendiri di mana mereka tinggal

Tapi bencana itu bukan saya hayati secara mistik irrasional seperti sulap. Tapi tetap dalam bingkai konsistensi hukum alam. Atau sunnatullah dalam istilah Alquran, yang dinyatakan juga merupakan ciptaan Tuhan. Dan Tuhan menyatakan bahwa sekali-kali Dia tidak akan mengingkari sunnahNya itu (hukum sebab akibat). Justru karena konsistensi sunnatullah itulah ilmu pegetahuan menjadi dimungkinkan. Seandainya alam bergerak semena-mena tanpa sistem yang jelas, saya tidak bisa membayangkan betapa khaos dan amburadulnya jagat raya ini. Dan itu mustahil bagi ciptaan Tuhan yang Maha Sempurna dengan segala karya ciptaNya yang juga sempurna.

Lalu kenapa umumnya manusia memaknai bencana tsunami itu sebagai kutukan dari Tuhan? Sambil sibuk mengumpulkan data demi data, kasus demi kasus untuk mendukung penilaian seperti itu? Mulai dari maksiat, perbuatan yang tidak manusiawi, sudah tidak taat lagi menyembah Tuhan dan seterusnya?. Saya membutuhkan kesabaran luar biasa setiap mendengarkan pernyataan seperti itu. Karena sejarah mencatat, tidak ada korelasi antara prilaku moral dan keyakinan manusia terhadap bencana alam. Kecuali bencana terhadap diri manusia itu sendiri, misalnya stress, panik dan kegilaan.

Tapia alam? Ia tetap bekerja mengikuti hukumnya yang konsisten, sebagai bukti sifat Maha Adil Tuhan. Saya jadi teringat ketika membaca sejarah penemuan alat penangkal petir. Sebuah rumah ibadah ngotot tidak mau menggunakan alat yang ditemukan sang penemunya (saya lupa nama ilmuwannya). Dengan alasan bahwa Tuhan sudah langsung menjaga rumah ibadah tersebut. Tapi apa yang terjadi? Begitu petir datang menyambar, rumah ibadah tersebut tetap hangus terbakar, rubuh! Rata dengan tanah.
Dan tidak terhitung banyaknya kasus serupa dalam kehidupan sehari-hari, mulai dari kejadian-kejadian sederhana sampai dengan becana besar seperti tsunami. Tanpa pilih kasih, seperti matahari yang tetap menyinari siapa dan apa saja tanpa pilih kasih.

Tapi umumnya umat beragama meyakini bahwa tsunami terjadi karena sudah begitu banyaknya maksiat terjadi di suatu daarah. Sebagai introspeksi diri tentu hal ini sangat bagus. Tapi memukul rata dan menarik-narik kejadian itu sebagai kutukan Tuhan bagi saya sangat memalukan. Karena terlalu naïf Tuhan mengamuk gara-gara sekelompok manusia yang berdosa lalu melumatkan jutaan manusia lain yang tidak berdosa. Seakan-akan Tuhan juga mengamuk seperti teroris yang membakar rumah-rumah penduduk dengan kesetanan.

Kesimplan saya, tsunami tetaplah sebuah gejala alam. Walaupun pengetahuan manusia belum sanggup mengungkap dan mencegahnya. Tapi ilmu teruslah berkembang sejalan dengan evolusi kesadaran dan kecerdasan manusia.

Bagi saya tsunami tetaplah gejala alam (sunnatullah). Hanya saja karena begitu dahsyatnya bencana itu, naluri rasa takut manusia secara tiba-tiba langsung menguasai seluruh kesadarannya saat peristiwa itu terjadi, sehingga menyumbat kesadaran pikirannya. Tapi hal itu juga sangat manusiawi. Yang sangat disayangkan bagi saya adalah ketika manusia menghayati peristiwa itu sebagai Tuhan sedang mengamuk murka pada manusia. Seakan Tuhan juga berjiwa kerdil seperti manusia!

Sumber:
Erianto Anas

miyagi ken

Tampak rumah penduduk tergenang air


Hari Jumat (11/03/2011), Jepang dilanda bencana besar, gempa berkekuatan 8,9 Scala Richter dan tsunami setinggi sekitar 6 meter. Itu terjadi di siang bolong saat warga Jepang sibuk melakukan aktivitasnya. Bencana yang melanda Jepang tersebut merupakan bencana terdahsyat dan terbesar setelah 140 tahun. Meski Jepang negara rawan gempa namun tak membuat mereka berkecil hati. Dengan kemampuan, kepintaran, dan kemajuan teknologi yang mereka punya, Jepang mampu beradaptasi dan bertahan hidup dengan gempa. Banyak negara termasuk Indonesia yang belajar ke negeri Matahari Terbit itu untuk memahami gempa, dan belajar bagaimana menghadapi gempa.

Agaknya, peristiwa gempa dan tsunami yang terjadi di siang tersebut merupakan ujian terberat bagi Jepang setelah berkali-kali mendapat ancaman gempa. Barangkali kalau cuma gempa yang dihadapi, Jepang akan mampu mengatasi, namun bencana itu diikuti dengan tsunami yang meluluhlantakkan semuanya. Dari beberapa reportase yang saya lihat di televisi dan saya baca di media massa lainnya, orang-orang Jepang tak kelihatan panik. Mereka yang berada di gedung-gedung tinggi tetap bertahan dalam gedung walau gedung sudah menari-nari digoyang gempa. Wajar mereka bisa tak panik berada dalam gedung tinggi, karena gedung-gedung tersebut memang sudah dirancang tahan goncangan gempa. Seperti diketahui, di Jepang, seluruh gedung-gedung tinggi dan perkantoran, bahkan rumah penduduk sudah didesain sebagai bangunan anti gempa.

Meskipun demikian, kerusakan dan kerugian besar yang ditimbulkan oleh bencana tersebut pun tak bisa dihindari. Lagian tak ada yang bisa mencegah kedahsyatan bencana yang datang tiba-tiba itu. Manusia hanya bisa memprediksi dan meminimalkan kerugian dan korban jiwa yang diakibatkan oleh suatu bencana. Tapi yang paling penting, mereka sudah berusaha semaksimal mungkin untuk menghadapi bencana.

Di Jepang, antisipasi terhadap datangnya bencana gempa memang sudah dilakukan. Mulai dari simulasi gempa yang dilakukan di kantor-kantor, di sekolah-sekolah, hingga di lingkungan rumah masing-masing. Tujuannya untuk mempersiapkan kedatangan bencana tersebut, yang suka datang tanpa diundang, dan tiba-tiba. Mental masyarakat Jepang pun disiapkan untuk menghadapinya, biar mereka tak panik dan membabi buta. Tahu sendirikan, kalau orang sudah dalam keadaan panik, tak hanya membahayakan jiwanya, tapi bagi orang lain juga. Masalah gempa pun masuk kurikulum sekolah-sekolah Jepang. Hal ini dimaksudkan agar anak-anak sekolah di negeri itu bisa tahu cara menghadapi gempa tanpa rasa takut yang berlebihan.

Tak hanya itu, dalam sistem pemerintahannya, Jepang juga memiliki Kementerian Penanganan Bencana (Disaster Management Ministry). Kementerian ini setiap tahunnya memiliki anggaran beratus-ratus miliar untuk menangani dan menghadapi gempa. Bahkan setiap tahunnya, 5 persen dari APBN Jepang wajib digunakan untuk mengantisipasi bencana. Anggaran ini digunakan untuk melindungi sekitar 127 juta rakyatnya dari dampak bencana yang bisa terjadi kapan saja.

Warga Jepang pun tak perlu khawatir mau lari ke mana kalau terjadi gempa, karena jalur-jalur evakuasi gempa yang modern sudah dibuatkan, termasuk membuat taman-taman yang luas di setiap titik kota yang difungsikan sebagai titik berkumpul. Yang paling penting, sistem antisipasi gempa dini (Early Warning System) selalu bekerja jauh sebelum bencana meneror warga. Sangat wajarkan apabila banyak negara-negara lain yang belajar penanganan gempa ke Jepang. Indonesia pun tak ketinggalan. Banyak tenaga ahlinya yang dikirim ke Jepang untuk belajar gempa, termasuk seorang teman saya yang bekerja di BMG.

Sayangnya, hasil pembelajaran itu tak begitu diterapkan dan diaplikasikan di negeri kita yang rawan gempa ini. Apabila bencana itu datang melanda, selalu diantisipasi terlambat. Tak heran kalau jumlah korban jiwa selalu tinggi dan besar, demikian pula dengan kerusakan harta benda seperti bangunan. Padahal setiap tahun kita selalu belajar ke Jepang, dan kita juga selalu dilanda gempa sepanjang tahun. Tentu seharusnya ilmu kita sudah sama dengan Jepang, tapi lagi-lagi selalu ditangani terlambat.

Sumber Oleh : AbdiHusairi